Wednesday, October 27, 2010

Mbah Maridjan Tidak Berdaya Menahan Amukan Gunung Merapi yang Meletus di Umbulharjo Yogyakarta

Mbah Maridjan dalam usianya yang ke 83 Tahun di Rumahnya yaitu di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta entah disadari atau tidak secara kebetulan relatif terlindung dari ancaman awan panas Gunung Merapi, karena berada di balik tebing yang disebut Geger Boyo (punggung buaya).

Terlihat tebing yang dari kejauhan tampak seperti punggung buaya itu dengan kepala mengarah ke atas dianggap warga di sekitar lereng Gunung Merapi sebagai “benteng pertahanan” dari serangan awan panas dari gunung merapi.

Apa karena dengan alasan tersebut Bintang Iklan Minuman Kesehatan "Mbah Maridjan" menolak untuk dievakuasi oleh TIM SAR, tidak ada yang tahu. Yang jelas Mbah Maridjan meyakini bahwa Gunung Merapi adalah pusatnya jagad di Tanah Jawa. Dia juga percaya Gunung Merapi adalah gunung yang “hidup” yang akan senantiasa bertambah dan berubah, sehingga jika memang Gunung Merapi meletus, berarti gunung berapi yang paling aktif di dunia itu sedang “berubah” atau “bertambah”.

Dengan situasi tersebut Mbah Maridjan mengajak siapa saja memohon keselamatan kepada yang Mahakuasa agar terhindar dari bahaya akibat dari bencana alam. Permohonan itu ditempuh oleh Mbah Maridjan melalui laku tirakat (puasa mutih) dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam.

Tidak hanya itu, masyarakat Dukuh Kinahrejo diminta memasang sesaji tolak bala berupa “ketupat luar” yang ditempatkan di atas pintu. Ketupat dari janur kuning tersebut bermakna simbolis agar warga yang memasangnya “keluar” dari bencana. Di dalam ketupat diisi garam dan daun sirih. Benar kah? atau hanya sekedar mitos biasa?

Dengan makna simbolisnya yaitu, “daun sirih” adalah lambang Gunung Merapi dan “garam” lambang dari Samudera Indonesia atau Laut Selatan. Keduanya dalam pandangan supranatural berada dalam satu poros imajiner dan merupakan kekuatan spiritual bagi Keraton Yogyakarta.

Si Mbah mengatakan bahwa, gejolak di Gunung Merapi diterjemahkan sebagai “eyang” yang melenggahinya sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, menjelaskan bahwa di saat eyang sedang punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal.

Letupan lahar panas dari Gunung Merapi, menurut Mbah Maridjan, lenggah (bertahta) sejumlah penguasa, di antaranya Eyang Empu Romo, Eyang Empu Permadi, dan Eyang Panembahan Sapujagad.