Wednesday, October 13, 2010

Presiden SBY akan digulingkan, Benarkah?

Gerakan Indonesia Bangkit akan menyampaikan peringatan terakhir bagi SBY.

VIVAnews – Ada kelompok yang menamakan diri Petisi 28 mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 13 Oktober 2010. Di sana mereka bertemu dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan, Pramono Anung. Dipimpin Haris Rusly, rombongan itu menyampaikan apa yang mereka sebut sebagai 28 poin kegagalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boedono.

Petisi 28 telah menuduh Presiden SBY gagal dalam banyak hal--mengatasi berbagai krisis yang terjadi, konflik antar lembaga negara, membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum tanpa diskriminasi, dan menyejahterakan rakyat.

"Dari segi keamanan, Presiden juga gagal menciptakan rasa aman masyarakat dengan meluasnya berbagai konflik horizontal maupun vertikal," Haris membacakan pernyataan. "Karena itu sebaiknya Beliau mengundurkan diri secara terhormat. Kami kaum muda siap melanjutkan memimpin bangsa dan negara."

Jaminan rasa aman bagi masyarakat sekarang terlihat; Beberapa kejadian  Premanisme, Aksi-aksi Perampokan di Negara Indonesia tercinta ini seakan-akan hukum sudah tidak ada fungsinya, kejadian anarkis, premanisme hampir terjadi di seluruh Republik Indonesia tercinta. Seluruh warga masyarakat merasa tidak aman dan nyaman lagi dengan melihat beberapa kejadian aksi-aksi premanisme yang terjadi akhir-akhir ini.

Premanisme seolah-olah dibiarkan begitu saja, populasi preman di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Aksi-aksi kekerasan menjadi hal yang biasa, Harapan masyarakat, Indonesia akan menjadi aman kembali seperti waktu jaman Pemerintahan Presiden Suharto dulu.

Masa pemerintahaan SBY-Budiono, tingkat kriminalitas mengalami peningkatan yang sangat tajam. Perampokan, penganiyayaan hampir terjadi dimana-mana. Apakah semua kejadian ini akan dibiarkan begitu saja? Mau sampai kapan? Preman sudah tidak mempunyai rasa takut lagi kepada aparat, Pihak pemerintah sudah tidak mempunyai wibawa sama sekali. Semua mata terfokus terhadap kasus-kasu Korupsi, mencari-carai kelemahan dan kesalahan serta kejahatan yang di lakukan oleh pihak pemerintah. Bagaimana dengan tindakan aksi anarkis, premanisme dan perampokan yang terjadi Negara ini?
Tak ayal, manuver Petisi 28 seperti mengkonfirmasikan kabar yang belakangan santer beredar di arena politik: ada kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan Presiden SBY yang baru akan genap berusia satu tahun pada 20 Oktober mendatang.

Benarkah, seperti itu?

Kepada VIVAnews.com, Koordinator Gerakan Indonesia Bangkit (GIB) Adhie M. Massardi mengungkapkan apa yang akan dilakukan kelompoknya pada 20 Oktober mendatang. Pada hari itu, mereka akan melansir peringatan terakhir agar SBY meninggalkan cara-cara memerintah yang hanya mementingkan citra.

“Langkahnya hanyalah langkah 'seolah-olah'-seolah-olah memperhatikan nasib rakyat. Gaya neoliberal yang lebih mengutamakan para pemilik modal, apalagi modal asing, juga harus ditinggalkan,” kata Adhie.

Mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid ini mengaku tak memiliki kekuatan riil politik untuk menggulingkan pemerintahan. Dia mengaku semata ingin memakzulkannya dari benak rakyat. “Ini pemerintahan yang tidak pernah hadir ketika rakyat membutuhkan. Presiden baru hadir ketika dirinya terancam. Presiden hanya hadir untuk berkeluh kesah."

Andai Presiden tak menggubris peringatan itu, Adhie menyatakan, “Saya jamin makin lama makin radikal, dan buntutnya SBY akan didemo mahasiswa di seluruh Indonesia, mungkin juga di luar negeri.”

Isu pemakzulan ini mulai bergulir sejak 25 Agustus lalu. Ketika itu, Ketua Forum Komunikasi Purnawirawan TNI dan Polri yang juga mantan Wakil Presiden, Jenderal TNI (purn) Try Sutrisno, beserta sejumlah mantan jenderal TNI/Polri menemui Ketua MPR Taufik Kiemas.

Dalam pertemuan itu, Try mengungkapkan kerisauan mereka tentang jalannya negeri ini. Mereka melihat sekarang ada begitu banyak pejabat yang memperkaya diri secara tak halal, serta terjadi kesenjangan sosial yang lebar. Mereka juga mendesak agar Indonesia kembali ke UUD 1945.

"Jika tidak dilaksanakan, maka Presiden dipanggil sampai dua kali. Dan jika juga tidak dilaksanakan, maka MPR sepakat untuk menggelar Sidang Istimewa MPR RI untuk melengserkan Presiden," kata Try.

Terdapat beberapa Satu dua orang

Terhadap perkembangan politik ini, Pemerintah sendiri tak risau. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menanggapinya dengan santai. "Nggak lah. Kita ngomong yang enak-enak, jangan yang nggak-nggak," katanya usai rapat dengan tim kecil Komisi Hukum DPR. "Itu gerakan inskonstitusional. Mungkin itu keinginan 1-2 orang."

Sejalan dengan Djoko, para pemimpin partai politik pun telah menegaskan sikap untuk terus menopang pemerintahan SBY-Boediono.

Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengecam manuver itu sebagai "pikiran orang yang gelap mata dan kehilangan kejernihan politik." 

Di mata Anas, gerakan itu merupakan "ancaman serius terhadap masa depan demokrasi." Menurutnya, meski ini gerakan minor, tapi "tak boleh dibiarkan dan mesti disadarkan bahwa pilihan jalan itu destruktif dan tidak menjanjikan apa-apa, kecuali kegenitan politik yang tak terukur."

Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie pun menyatakan akan terus memberikan dukungannya. "Yang kurang kita beri masukan, yang baik kita dukung," ia menegaskan dalam pembukaan Rakerda Golkar se-Kalimantan Barat, Selasa malam kemarin. Aburizal berpandangan keberhasilan pemerintah tak bisa dinilai dalam tempo setahun. "Karena itu kita harapkan kita dukung sampai 2014."

Soal kabar adanya sekelompok orang yang ingin menjungkirkan kursi Presiden di tengah jalan, menurut Aburizal, "Itu melawan hasil pemilu demokratis dan berlegitimasi, dan itu merupakan jalan pintas orang-orang yang anti terhadap konstitusi. Kapan Indonesia dewasa, kalau kita selalu menjatuhkan pemerintahan di tengah jalan."

Hal senada dinyatakan Menteri Koordinator Perekonomian dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Hatta Rajasa. Kepada wartawan, dia menyatakan prihatin atas munculnya gerakan itu.

Ketidaksetujuan bahkan disuarakan partai oposisi. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung tegas-tegas menyatakan tak sepakat dengan gerakan Petisi 28. "Saya pribadi termasuk yang berpandangan Presiden yang dipilih rakyat dan tatanan lima tahunan harus dihormati," ujarnya usai menerima rombongan Petisi 28.

Bagi Pram, menurunkan pemerintahan di tengah jalan dengan cara seperti itu bertentangan dengan demokrasi. Jika pemerintah dinilai gagal, maka rakyat selayaknya menjatuhkan hukuman pada pemilu berikutnya.